Beberapa waktu yang lalu salah satu muridku bertanya tentang:
Apakah seorang wanita berdosa ketika memotong rambut, kuku dan membuang dari keduanya pada waktu haid? Apakah disela-sela waktu haid, harus dicuci terlebih dahulu sebelum dibuang?
Well, akhirnya aku jawab itu semua gak dosa karena manusia itu tidak najis, jadi tidak apa-apa kalau rambut kita rontoh. Setelah searching ini dia jawaban yang sangat bagus dan jelas. Ini jawaban untuk memperkuat jawabku yang singkat kemarin ^_^
Jawaban ini aku kutip dari http://islamqa.info/
Masalah ini seringkali terjadi pada kebanyakan para wanita. Terkait dengan hukum memotong rambut, kuku dan semisalnya diantara sunah fitrah disela-sela haid. Hal itu timbul karena keyakinan yang salah pada sebagian diantara mereka. Bahwa anggota tubuh manusia akan kembali kepadanya di hari kiamat nanti. Kalau dihilangkannya sementara kalau dia dalam kondisi hadats besar baik janabat, haid atau nifas. Maka ia akan kembali dalam kondisi najis yang belum dibersihkan. Perkataan ini salah dan tidak ada kebenarannya.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah sebagaimana dalam ‘Majmu’ Al-Fatawa, (21/120-121) ditanya tentang seseorang dalam kondisi junub dan dia memotong kuku, kumis atau menyisir rambutnya. Apakah dia terkena sesuatu. Sebagian mengisyaratkan akan hal ini. Dengan mengatakan,”Kalau seseorang memotong rambut atau kukunya maka anggota (tubuhnya) akan kembali kepadanya di akhirat. Maka ketika dibangkitkan hari kiamat ada bagian junub sesuai dengan apa yang berkurang darinya. Dan pada setiap rambut ada bagian dari janabat, apakah hal itu (benar) atau tidak?”
Maka beliau rahimahullah menjawab: “Telah ada ketetapn dari Nabi sallallahu’alaihi wa sallam dari hadits Hudzaifah dan hadits Abu Hurairah radhiallahu’anhuma ketika disebutkan kepadanya masalah junub berkata (Sesungguhnya orang mukmin itu tidak najis) dalam shoheh Hakim (Baik waktu hidup maupun mati). Sepengetahuan saya tidak ada dalil syar’I larangan menghilangkan rambut orang junub dan kukunya. Bahkan Nabi sallallahu’alaihi wa sallam bersabda (Hilangkan rambut kekufuran anda dan berkhitanlah). HR. Abu Dawud (356) dinyatakan hasan oleh Al-Albany di ‘Irwaul Gool (1/120). Maka beliau memeritahkan orang yang baru masuk islam untuk mandi. Dan tidak memerintahkan mengakhirkan khitan dan memotong rambut dari mandi. Keumuman perkataannya mengandung diperbolehkan kedua hal tersebut. Begitu juga orang haid diperintahkan menyisir sewaktu mandi. Padahal menyisir dapat menghilangkan sebagian rambutnya. Wallahu’alam.”
Syeikhul Islam mengisyaratkan hal itu pada hadits Aisyah radhiallahu’aha ketika haid pada haji wada’, maka Nabi sallallahu’alaihi wasallam memerintahkan kepadanya (Uraikan rambutmu dan bersisirlah. Serta berihlal (talbiyah) dengan haji dan tinggalkan umroh). HR. Bukhori, (1556) dan Muslim, (1211).
Bersisir seringkali sebagian rambutnya berjatuhan. Meskipun begitu Nabi sallallahu’alaihi wa sallam mengizinkan hal itu bagi orang yang berihrom dan orang haid. Para ahli fiqih dari kalangan Syafi’iyyah mengatakan seperti dalam kitab ‘Tuhfatul Muhtaj, (4/56): “Yang sesuai nash, bahwa orang haid diperbolehkan mengambilnya. Selesai (maksudnya adalah kuku, bulu kemaluan, bulu ketiak. Maksud nash disitu adalah madzhab).
Telah ada dalam ‘Fatawa Nurun ‘Ala Ad-Darb’ oleh Syekh Ibnu Utsaimin (Fatawa Az-Ziinah Wal Mar’ah/ soal no 9): “Saya mendengar bahwa menyisir waktu haid tidak diperbolehkan, begitu juga (tidak diperbolehkan) memotong kuku dan mandi. Apakah hal ini dibenarkan atau tidak?
Maka beliau rahimahullah menjawab, “Ini tidak benar. Orang haid diperbolehkan memotong kuku dan menyisir rambutnya. Diperbolehkan mandi dari janabat. Seperti ketika dia bermimpi sementara dia dalam kondisi haid, maka dia mandi janabat. Atau bercumbu dengan suaminya tanpa bersenggema sampai keluar (air mani), maka dia mandi jenabat. Sepengetahuan saya bahwa pendapat yang dikenal dikalang sebagian wanita bahwa tidak boleh mandi, tidak bersisir, tidak menyentuh kepala dan tidak memotong kukunya adalah tidak ada asalnya dalam agama.”
Dan tidak dikenal pendapat yang memakruhkan hal itu satupun dari pendapat para ahli fikih yang terkenal. Akan tetapi disebutkan pada sebagian kitab ahli bid’ah dari golongan yang menyalahi ahlus sunnah. Sebagaimana dalam kitab ‘Syarkh An-Nail Wa Syifai’ ‘Alil, (1/347) karangan Muhammad bin Yusuf Al-Ibadhii.
Wallahu’alam.
[semoga bermanfaat ^_^]